Cari Blog Ini

Minggu, 13 Maret 2011

SISTEMATIKA DAN METODE PEMBAHASAN ILMU KALAM

SISTEMATIKA DAN METODE PEMBAHASAN ILMU KALAM
MAKALAH
Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
“ILMU KALAM”
Dosen pembimbing:
Drs. Masduqi Affandi, M.Pd.I
Oleh:
Rahmatullah ramadhan              B01210006
Muhammad nurus shobih                      B01210007
Leni nur aini                                          B01210008
Teguh elfan hidayat                               B01210009
Kpi A
FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. latar belakang
Ilmu kalam merupakan ilmu yang membahas tentang keesaan ALLAH, yang berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang di perintahkan melalui argument-argumen rasional, jika pembahasan ilmu kalam hanya berkisar pada keyakinan-keyakinan tanpa adanya argument-argumen yang rasional maka lebih spesifik disebut dengan ilmu tauhid / aqidah.
Dalam membahas ilmu kalam pastilah ada sejarah munculnya dan metode pemikiran-pemikiranya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini menjelaskan metode-metode pembahasan ilmu kalam oleh aliran-aliran/golongan-goolongan tertentu secara singkat.
B.     Rumusan Masalah
A.      Bagaimana Ilmu Kalam Menurut Sistem Mutakalim
B.      Macam-Macam Metode Pemikiran Menurut Golongan-Golongan
C.      Macam-Macam Studi Kritis Ilmu Kalam




BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Ilmu Kalam Menurut Sistem Mutakalim
Meskipun mutakillimin menggunakan akal untuk mencari Tuhan tetapi mereka tidak puas, karena ada hal-hal yang di luar jangkauan kekuasaan akal manusia, yaitu masalah dogma. Menurut orang-orang barat, dogma itu berada di bawah akal, agar dihukumi oleh akal, maka rahasia dogma itu menjadi tidak rahasia akal, kemudian ditolaknya. Tauhid adalah berbeda dengan dogma. Sebab dengan akal, manusia mencari Tuhan, dengan jalan memperhatikan alam semesta.
Ada beberapa pendapat menurut nash-nash mutasyabihat :
1.      Golongan salaf ; mempercayai sepenuhnya kapada nash-nash mutasyabihat. Tetapi mereka menyerahkan maksud yang sebenarnya kepada Allah. Mereka percaya pada يد ا لله, tangan Allah, tetapi keadaan-Nya berbeda dengan tangan manusia. Maksud sebenarnya mereka serahkan sepenuhnya kepada Allah.
2.      Golongan Mu’atthilah ; berpendapat bahwa kalimat-kalimat yang mengandung sifat-sifat Allah yang tampaknya serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya yang terdapat pada nash-nash mutasyabihat, harus dinafikan (ditiadakan) dari Allah bersifat semacam itu. Agar dengan demikian dapat dengan sungguh-sungguh mentaqdiskan atau mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk-Nya.
3.      Golongan Mujassimah atau Musyabbihah. Golongan ini dipimpin oleh Dawud Al-Jawariby dan Hisyam bin Hakam Ar-Rafidly. Mereka berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi mengenai nash-nash mutasyabihat harus diartikan menurut lahirnya (letterlijk) saja.
4.      Golongan Khalaf ; mempercayai bahwa nash-nash mutasyabihat itu menerangkan tentang sifat-sifat Allah yang tampaknya menyerupai dengan makhluk-Nya itu, adalah kalimat-kalimat majaz. Oleh karena itu harus di takwilkan sesuai dengan sifat keagungan dan kesempurnaan-Nya. Seperti :
يد ا لله – diartikan kekuasaan Allah.
وجه الله – diartikan Dzat Allah.
من في السماء – diartikan Dzat yang mengusai langit.
Adapun sebab-sebab golongan salaf tidak mengadakan takwil itu ialah :
a.       Pembahasan nash-nash mutasyabihat itu tidak memberi manfaat bagi orang awam.
b.      Segala yang berhubungan dengan Dzat dan sifat Allah, adalah di luar akal yang tidak mungkin manusia dapat mencapai-Nya, kecuali dengan jalan mengqiyasakan Allah pada sesuatu. Ini adalah kesalahan yang sangat besar.
Adapun system mutakallimin ialah beriman kepada Allah dan segala apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Akan tetapi mereka perkuat dengan dalil-dalil akal yang disusun secara mantiq.
Mengenai nash-nash mutasyabihat, para mutakallimin tidak merasa puas dengan beriman secara ijmaly saja, tanpa mengadakan takwil. Maka mereka mengumpulkan nash-nash yang pada lahirnya bertentangan, seperti nash-nash yang diterministis, indeterministis, dan antropomorphistis.
Mereka mentakwilkan nash-nash tersebut dan takwilan itu adalah ciri khusus daripada mutakallimin. Mentakwilkan nash-nash ini member kebebasan pada akal untuk membahas dan memikirkannya.
B. Metode pemikiran menurut golongan-golongan
a.       Metode Mu’tazilah dalam menemukan dalil ‘aqidah
Dalam menemukan dalil untuk menetapkan aqidah, Mu’tazilah berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat diketahui selain dengan dalil naqli (teks) kepercayaan mereka terhadap kekuatan akal hanya dibatasi oleh penghormatan mereka terhadap perintah-perintah syara’.
b.      Metode berpikir Al-maturidi
Al-maturidi berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’ maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
c.       Metode berpikir salaf
Menempatkan akal berjalan dibelakang dalil naqli, mendukung dan menguatkannya. Akal tidak berdiri sendiri untuk dipergunakan menjadi dalil, tetapi ia mendekatkan ma’na-ma’na nash
C. Studi kritis ilmu kalam
Secara garis besar, titik kelemahan ilmu kalam yang menjadi sorotan para pengkritiknya berputar pada tiga aspek :
a.       Aspek Epistomologi
Pada pembahasan ini adalah cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam
dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an.
b.      Aspek Ontologi
Harus diakui bahwa diskursus alira-aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang terkesan “mengawang-awang” dan jauh dari persoalan kehidupan umat manusia. Kalaupun tetap dipertahankan diskursus aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, persoalan itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau, yang nota bennya berbeda dengan persoalan-persoalan kehidupan manusia masa kini. Dengan demikian, ilmu kalam tidak dapat diandalkan untuk memecahkan masalah.
c.       Aspek Aksiologi
Kritikan yang dialamatkan pada aspek Aksiologi ilmu kalam juga menyentuh persoalan-persoalan kehidupan manusia masa kini. Dengan demikian, ilmu kalam tidak dapat diandalkan untuk memecahkan persoalan-persoalan. Al- Ghazali, sebagai seorang tokoh ahli kalam klasik, dapat disebut sebagai cendekiawan muslim yang mempermasalahkan hal ini. Ia tidak serta menolak ilmu kalam, tetapi menggaris bawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu ini sehingga berkesimpulan bahwa ilmu ini tidak dapat mengantarkan manusia untuk mendekati tuhan. Hanya kehidupan sufi-lah yang dapat mengantarkan seseorang dekat dengan tuhan. Mungkin karena diantara alasan ini pula, Ibnu Taimiyah dengan penuh semangat menganjurkan kaum muslimin untuk menjahui ilmu kalam.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pembahasan Ilmu Kalam Menurut Sistem Mutakalim
Meskipun mutakillimin menggunakan akal untuk mencari Tuhan tetapi mereka tidak puas, karena ada hal-hal yang di luar jangkauan kekuasaan akal manusia, yaitu masalah dogma. Menurut orang-orang barat, dogma itu berada di bawah akal, agar dihukumi oleh akal, maka rahasia dogma itu menjadi tidak rahasia akal, kemudian ditolaknya.
a.       Metode Mu’tazilah dalam menemukan dalil ‘aqidah
Dalam menemukan dalil untuk menetapkan aqidah, Mu’tazilah berpegang pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat diketahui selain dengan dalil naqli (teks) kepercayaan mereka terhadap kekuatan akal hanya dibatasi oleh penghormatan mereka terhadap perintah-perintah syara’.
b.      Metode berpikir Al-maturidi
Al-maturidi berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’ maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
c.       Metode berpikir salaf
Menempatkan akal berjalan dibelakang dalil naqli, mendukung dan menguatkannya. Akal tidak berdiri sendiri untuk dipergunakan menjadi dalil, tetapi ia mendekatkan ma’na-ma’na nash